Rabu, 07 Mei 2014

Dibalik Kasus Pencurian 2 Pohon Singkong

Dibalik Kasus Pencurian 2 Pohon Singkong

Supriyadi (40), terdakwa pencuri singkong.
PASURUAN – Perkara hukum pencurian 2 pohon singkong senilai Rp 2.000,- yang didakwakan kepada diri Supriyadi (42), warga Dusun Sentono RT 18/ RW 19, Desa Wrati, Kec Kejayan, Kab Pasuruan menyisakan berbagai pertanyaan.

Di luar pengadilan, baik Supriyadi maupun keluarganya menyatakan jika singkong yang diambil tersebut terletak di lahan warisan Nuradjid, ayah Supriyadi.
Sejumlah pihak menyebut kasus pencurian singkong ini sebagai sebuah ironi hukum.
Salah satu kerabat Supriyadi bernama Subari (56), saat berada di PN Bangil beberapa waktu lalu, mengatakan heran, kenapa proses hukum terkait pencurian singkong yang dituduhkan oleh Satunah kepada Supriyadi ini terus berlanjut bahkan sampai ke meja hijau Pengadilan.

Subari juga mengaku jika dirinya sudah mengenal sangat baik kedua pihak keluarga  yang terlibat dalam masalah ini.
H. Hanafi maupun Satunah selama ini masih menjadi teman dekatnya, sementara, keluarga Nuradjid, meskipun cukup jauh  masih ada pertalian kekerabatan.
Menurutnya, pihak-pihak seperti Kantor Desa, Kepolisian maupun pihak Kejaksaan seharusnya mampu lebih bijak dengan melakukan mediasi agar perkara “kecil” yang terjadi pada 27 Desember 2009 ini dapat diselelesaikan secara damai penuh kekeluargaan.

Kerabat Supriyadi yang berada di Dusun Sompyoh, Desa Luwuk, Kec Kejayan, Kab Pasuruan ini, mengetahui Supriyadi terlibat hukum pencurian setelah perkaranya hendak dilimpahkan ke PN Bangil.
Masalah ini dianggap janggal, karena status tanah tempat Supriyadi mencabut singkong masih dalam sengketa. Luas tanah yang disengketakan diperkirakan sekitar 10.330 M2.

“Polisi kok bisa berani terus ngangkat (proses hukum Supriyadi). Kalau nanti Supriyadi mengajukan gugatan perdata dan menang atas sengketa tanah ini, sementara Supriyadi dinyatakan salah dan kemudian dihukum karena mencuri di lahannya sendiri. Bagaimana?”  kata Subari penuh keheranan.
Ia berharap kasus hukum ini segera tuntas dan hakim memutus bebas kepada Supriyadi. Sehingga masalah perdata terkait sengketa tanah ini dapat segera diselesaikan.

Pada kesempatan yang berbeda, Subandi (40), adik kandung Supriyadi, di sebuah warung di kampungnya di Desa Ambal Ambil, Kec Kejayan, Kab Pasuruan, mencoba mengurai kesaksiannya terkait sengketa lahan antara keluarganya dengan pihak keluarga Satunah, yang saat ini tengah dihadapinya.

Subandi (40), menunjukkan pernyataan mantan Kades Suwandi. 
Bahwa sebelumnya, sebidang tanah dengan luas 10.330 M2 yang disengketakan itu merupakan milik Nuradjid setelah mendapat hak waris dari Mat San bin Musa, kakeknya.

Hal itu dibuktikan dengan adanya letter petok ‘D’ maupun surat ketetapan iuran pembangunan atau biasa disebut petok ‘C’ dengan nomor 860 yang tervalidasi sekitar tahun 1972 .
Kronologis terjadinya sengketa tanah tersebut bermula adanya transaksi ‘jual sewa’ pada 9 Agustus 1986, antara ayahnya yakni Nuradjid dengan H. Hanafi ayah Satunah.

Perjanjian sewa waktu itu dikatakan, jika pihak H. Hanafi membayar Rp 1,1 juta kepada Nuradjid dan berhak menggunakan lahan seluas 10.330 M2 itu.
Sementara masa penggunaan lahan sewa selama 11 tahun, dimulai pada tahun 1987.
Namun, belakangan, keluarga Satunah tiba-tiba memiliki surat perjanjian ‘jual beli’ tertanggal 9 Agustus 1986.

Anehnya, pada surat perjanjian itu tertulis 2 saksi ahli waris Nuradjid bernama Aswadi dan Aspandi.
“Dua nama itu (Aswadi dan Aspandi) yang kami tahu adalah putra Bapak Bronto, juga warga Wrati, Kejayan sini. Bukan anak Nuradjid bapak saya.” Ungkap Subandi.
Subandi menyebutkan jika putra putri yang menjadi Ahli waris Nuradjid ada empat orang yakni kakak perempuannya Hanifah (45), Supriyadi (42) yang saat ini terjerat kasus pencurian singkong, dirinya sendiri Subandi (40) dan terakhir Affandi (25).

Dalam perjanjian “jual beli” yang diduga palsu itu, diketahui dan ditandangani oleh Sekretaris Desa (Sekdes) bernama Sanai, mengatasnamakan Kepala desa (Kades) Suwandi yang menjabat kala itu.
Subandi kemudian menunjukkan sebuah copy lembaran surat pernyataan dari mantan Kades Suwandi tertanggal 24 Mei 2009, yang menyatakan jika pada tanggal 9 Agustus 1986 itu tidak ada transaksi atau perjanjian jual beli tanah yang terjadi antara pihak Nuradjid selaku penjual dengan H. Hanafi selaku pembeli tanah.

Bahkan Suwandi yang menjabat Kades dalam kurun 1982 – 1989 tersebut kemudian mendaftarkan surat pernyataannya untuk disahkan, ke notaris Muh. Shodiq, SH dengan nomor 211/GW/NOT/MS/XI/2009.
Sesaat setelah menghisap rokok kreteknya, Subandi melanjutkan bahwa keluarganya kembali terkejut tatkala ayahnya, Nuradjid pada tahun 1998 “ditolak” saat mencoba meminta kembali tanah miliknya kepada 
H. Hanafi dan Satunah.

Pada tahun ini seharusnya tanah yang disewa H. Hanafi bersama Satunah kepada Nuradjid habis masa waktunya.
Nuradjid, kemudian mencoba meminta tanahnya melalui kantor desa Wrati, yang waktu itu jabatan kepala desa sudah berganti kepada Saroni.

Namun, Nuradjid semakin terpukul karena kantor desa bersama keluarga H. Hanafi menunjukkan lembaran ‘bukti baru’ jika tanah tersebut sudah berbalik nama menjadi milik Satunah, anak H. Hanafi.
Lembaran bukti baru atas tanah atas nama milik Satunah itu adalah sebuah lembaran surat petok ‘C’ dengan nomor 1297 tertanggal 6 Agustus 1989.
“Kami tidak tahu dan kaget ada peralihan tanah itu. Kami menduga ada rekayasa (peralihan kepemilikan tanah).” Lanjut Subandi.

Meskipun tidak bisa menyebut siapa orang yang melakukan rekayasa pemalsuan peralihan kepemilikan tanah dari Nuradjid kepada H. Hanafi. Namun, Subandi tidak menolak saat ditanya orang yang mampu dan bertanggung jawab melakukan peralihan ‘palsu’ itu bisa saja seorang perangkat desa atau kepala desa setempat.

Pada tahun 1989 itu kepala desa Wrati masih dijabat oleh Suwandi. Padahal mantan kades Suwandi dalam pernyataan tertulisnya menegaskan jika selama menjabat (1982-1989), tidak ada proses peralihan untuk tanah milik Nuradjid kepada pihak lain.

Sementara kala Saroni menjabat sebagai kepala desa kurun 1990 – 1998 disebutkan juga sama sekali tidak ada peralihan kepemilikan dengan menerbitkan petok ‘C’ tanah dimaksud.
Mulai saat itu, berbagai perundingan antara kedua pihak untuk menyelesaikan masalah tanah ini terus dilakukan.

Hingga tahun 2000, keluarga Nuradjid mencoba menyelesaikannya melalui jalur hukum secara perdata dengan melapor ke kantor kepolisian sektor Kejayan. Tapi ternyata, hingga beberapa waktu laporan itu tidak ditanggapi.
Keluarga Nuradjid akhirnya kembali ‘menggugat’ haknya ke kantor desa dan kembali melakukan sejumlah perundingan.

Namun, tetap saja mendapat hasil mengecewakan hingga muncul permintaan kades periode saat ini, yakni Sudjiono, untuk menjual saja lahan tersebut ke orang lain, kemudian uang hasil penjualan tersebut dibagikan secara merata kepada kedua pihak.
Solusi yang ditawarkan kades Sudjiono dengan cara menjual tanah ke orang lain itu karuan langsung ditolak mentah-mentah.

Keadaan semakin rumit, tatkala Nuradjid yang menjadi saksi kunci kasus sengketa tanah ini meninggal pada 1 januari 2007.
Sementara, Satunah saat ditemui terpisah dalam waktu yang berbeda di rumahnya di Dusun Kluntungan tetap bersikukuh jika tanah itu adalah tanah yang sudah menjadi hak miliknya.
Pada tahun 1986, tanah itu telah dibeli ayahnya dengan dibuktikan adanya surat perjanjian jual beli tanah antara Nuradjid dengan H. Hanafi.

“Bapak saya itu orangnya lugu, tani tuleen. Ga’ pernah macam-macam sama orang!” tegas Satunah.
Saat disinggung mengenai laporannya kepada diri Supriyadi. Satunah tetap bertahan dan mengatakan jika Supriyadi telah mencuri singkong yang dia tanam di lahan yang disebut sebagai lahannya.
Karena merasa menjadi waris, tanah tersebut kemudian dialihkan dengan letter petok ‘C’ nomor 1297 tertanggal 6 Agustus 1989.

Dengan harap-harap cemas, masing-masing kedua pihak saat ini masih menunggu datangnya kebajikan dan kebijakan aparat penegak hukum untuk tetap berlaku adil dan tajam dalam melihat segala persoalan. tj



Tidak ada komentar:

Posting Komentar