Dibalik Kasus Pencurian 2 Pohon
Singkong
|
Supriyadi
(40), terdakwa pencuri singkong.
|
PASURUAN
– Perkara hukum pencurian 2 pohon singkong senilai Rp 2.000,- yang
didakwakan kepada diri Supriyadi (42), warga Dusun Sentono RT 18/ RW 19, Desa
Wrati, Kec Kejayan, Kab Pasuruan menyisakan berbagai pertanyaan.
Di luar
pengadilan, baik Supriyadi maupun keluarganya menyatakan jika singkong yang
diambil tersebut terletak di lahan warisan Nuradjid, ayah Supriyadi.
Sejumlah
pihak menyebut kasus pencurian singkong ini sebagai sebuah ironi hukum.
Salah satu
kerabat Supriyadi bernama Subari (56), saat berada di PN Bangil beberapa waktu
lalu, mengatakan heran, kenapa proses hukum terkait pencurian singkong yang
dituduhkan oleh Satunah kepada Supriyadi ini terus berlanjut bahkan sampai ke
meja hijau Pengadilan.
Subari juga
mengaku jika dirinya sudah mengenal sangat baik kedua pihak keluarga yang
terlibat dalam masalah ini.
H. Hanafi
maupun Satunah selama ini masih menjadi teman dekatnya, sementara, keluarga
Nuradjid, meskipun cukup jauh masih ada pertalian kekerabatan.
Menurutnya,
pihak-pihak seperti Kantor Desa, Kepolisian maupun pihak Kejaksaan seharusnya
mampu lebih bijak dengan melakukan mediasi agar perkara “kecil” yang terjadi
pada 27 Desember 2009 ini dapat diselelesaikan secara damai penuh kekeluargaan.
Kerabat
Supriyadi yang berada di Dusun Sompyoh, Desa Luwuk, Kec Kejayan, Kab Pasuruan
ini, mengetahui Supriyadi terlibat hukum pencurian setelah perkaranya hendak
dilimpahkan ke PN Bangil.
Masalah ini dianggap janggal, karena status tanah tempat Supriyadi mencabut singkong masih dalam sengketa. Luas tanah yang disengketakan diperkirakan sekitar 10.330 M2.
Masalah ini dianggap janggal, karena status tanah tempat Supriyadi mencabut singkong masih dalam sengketa. Luas tanah yang disengketakan diperkirakan sekitar 10.330 M2.
“Polisi kok
bisa berani terus ngangkat (proses hukum Supriyadi). Kalau nanti Supriyadi
mengajukan gugatan perdata dan menang atas sengketa tanah ini, sementara
Supriyadi dinyatakan salah dan kemudian dihukum karena mencuri di lahannya
sendiri. Bagaimana?” kata Subari penuh keheranan.
Ia berharap
kasus hukum ini segera tuntas dan hakim memutus bebas kepada Supriyadi.
Sehingga masalah perdata terkait sengketa tanah ini dapat segera diselesaikan.
Pada
kesempatan yang berbeda, Subandi (40), adik kandung Supriyadi, di sebuah warung
di kampungnya di Desa Ambal Ambil, Kec Kejayan, Kab Pasuruan, mencoba mengurai
kesaksiannya terkait sengketa lahan antara keluarganya dengan pihak keluarga
Satunah, yang saat ini tengah dihadapinya.
Subandi
(40), menunjukkan pernyataan mantan Kades Suwandi.
|
Bahwa
sebelumnya, sebidang tanah dengan luas 10.330 M2 yang disengketakan itu merupakan
milik Nuradjid setelah mendapat hak waris dari Mat San bin Musa, kakeknya.
Hal itu
dibuktikan dengan adanya letter petok ‘D’ maupun surat ketetapan iuran
pembangunan atau biasa disebut petok ‘C’ dengan nomor 860 yang tervalidasi
sekitar tahun 1972 .
Kronologis
terjadinya sengketa tanah tersebut bermula adanya transaksi ‘jual sewa’ pada 9
Agustus 1986, antara ayahnya yakni Nuradjid dengan H. Hanafi ayah Satunah.
Perjanjian
sewa waktu itu dikatakan, jika pihak H. Hanafi membayar Rp 1,1 juta kepada Nuradjid
dan berhak menggunakan lahan seluas 10.330 M2 itu.
Sementara
masa penggunaan lahan sewa selama 11 tahun, dimulai pada tahun 1987.
Namun,
belakangan, keluarga Satunah tiba-tiba memiliki surat perjanjian ‘jual beli’
tertanggal 9 Agustus 1986.
Anehnya,
pada surat perjanjian itu tertulis 2 saksi ahli waris Nuradjid bernama Aswadi
dan Aspandi.
“Dua nama
itu (Aswadi dan Aspandi) yang kami tahu adalah putra Bapak Bronto, juga warga
Wrati, Kejayan sini. Bukan anak Nuradjid bapak saya.” Ungkap Subandi.
Subandi
menyebutkan jika putra putri yang menjadi Ahli waris Nuradjid ada empat orang
yakni kakak perempuannya Hanifah (45), Supriyadi (42) yang saat ini terjerat
kasus pencurian singkong, dirinya sendiri Subandi (40) dan terakhir Affandi
(25).
Dalam
perjanjian “jual beli” yang diduga palsu itu, diketahui dan ditandangani oleh
Sekretaris Desa (Sekdes) bernama Sanai, mengatasnamakan Kepala desa (Kades)
Suwandi yang menjabat kala itu.
Subandi
kemudian menunjukkan sebuah copy lembaran surat pernyataan dari mantan Kades
Suwandi tertanggal 24 Mei 2009, yang menyatakan jika pada tanggal 9 Agustus
1986 itu tidak ada transaksi atau perjanjian jual beli tanah yang terjadi
antara pihak Nuradjid selaku penjual dengan H. Hanafi selaku pembeli tanah.
Bahkan
Suwandi yang menjabat Kades dalam kurun 1982 – 1989 tersebut kemudian
mendaftarkan surat pernyataannya untuk disahkan, ke notaris Muh. Shodiq, SH
dengan nomor 211/GW/NOT/MS/XI/2009.
Sesaat
setelah menghisap rokok kreteknya, Subandi melanjutkan bahwa keluarganya
kembali terkejut tatkala ayahnya, Nuradjid pada tahun 1998 “ditolak” saat
mencoba meminta kembali tanah miliknya kepada
H. Hanafi dan Satunah.
Pada tahun
ini seharusnya tanah yang disewa H. Hanafi bersama Satunah kepada Nuradjid
habis masa waktunya.
Nuradjid,
kemudian mencoba meminta tanahnya melalui kantor desa Wrati, yang waktu itu
jabatan kepala desa sudah berganti kepada Saroni.
Namun,
Nuradjid semakin terpukul karena kantor desa bersama keluarga H. Hanafi
menunjukkan lembaran ‘bukti baru’ jika tanah tersebut sudah berbalik nama
menjadi milik Satunah, anak H. Hanafi.
Lembaran
bukti baru atas tanah atas nama milik Satunah itu adalah sebuah lembaran surat
petok ‘C’ dengan nomor 1297 tertanggal 6 Agustus 1989.
“Kami tidak
tahu dan kaget ada peralihan tanah itu. Kami menduga ada rekayasa (peralihan
kepemilikan tanah).” Lanjut Subandi.
Meskipun
tidak bisa menyebut siapa orang yang melakukan rekayasa pemalsuan peralihan
kepemilikan tanah dari Nuradjid kepada H. Hanafi. Namun, Subandi tidak menolak
saat ditanya orang yang mampu dan bertanggung jawab melakukan peralihan ‘palsu’
itu bisa saja seorang perangkat desa atau kepala desa setempat.
Pada tahun
1989 itu kepala desa Wrati masih dijabat oleh Suwandi. Padahal mantan kades
Suwandi dalam pernyataan tertulisnya menegaskan jika selama menjabat
(1982-1989), tidak ada proses peralihan untuk tanah milik Nuradjid kepada pihak
lain.
Sementara
kala Saroni menjabat sebagai kepala desa kurun 1990 – 1998 disebutkan juga sama
sekali tidak ada peralihan kepemilikan dengan menerbitkan petok ‘C’ tanah
dimaksud.
Mulai saat
itu, berbagai perundingan antara kedua pihak untuk menyelesaikan masalah tanah
ini terus dilakukan.
Hingga tahun
2000, keluarga Nuradjid mencoba menyelesaikannya melalui jalur hukum secara
perdata dengan melapor ke kantor kepolisian sektor Kejayan. Tapi ternyata,
hingga beberapa waktu laporan itu tidak ditanggapi.
Keluarga
Nuradjid akhirnya kembali ‘menggugat’ haknya ke kantor desa dan kembali
melakukan sejumlah perundingan.
Namun, tetap
saja mendapat hasil mengecewakan hingga muncul permintaan kades periode saat
ini, yakni Sudjiono, untuk menjual saja lahan tersebut ke orang lain, kemudian
uang hasil penjualan tersebut dibagikan secara merata kepada kedua pihak.
Solusi yang
ditawarkan kades Sudjiono dengan cara menjual tanah ke orang lain itu karuan
langsung ditolak mentah-mentah.
Keadaan
semakin rumit, tatkala Nuradjid yang menjadi saksi kunci kasus sengketa tanah
ini meninggal pada 1 januari 2007.
Sementara,
Satunah saat ditemui terpisah dalam waktu yang berbeda di rumahnya di Dusun
Kluntungan tetap bersikukuh jika tanah itu adalah tanah yang sudah menjadi hak
miliknya.
Pada tahun
1986, tanah itu telah dibeli ayahnya dengan dibuktikan adanya surat perjanjian
jual beli tanah antara Nuradjid dengan H. Hanafi.
“Bapak saya
itu orangnya lugu, tani tuleen. Ga’ pernah macam-macam sama orang!” tegas
Satunah.
Saat
disinggung mengenai laporannya kepada diri Supriyadi. Satunah tetap bertahan
dan mengatakan jika Supriyadi telah mencuri singkong yang dia tanam di lahan
yang disebut sebagai lahannya.
Karena
merasa menjadi waris, tanah tersebut kemudian dialihkan dengan letter petok ‘C’
nomor 1297 tertanggal 6 Agustus 1989.
Dengan
harap-harap cemas, masing-masing kedua pihak saat ini masih menunggu datangnya
kebajikan dan kebijakan aparat penegak hukum untuk tetap berlaku adil dan tajam
dalam melihat segala persoalan. tj