Kamis, 12 Juni 2014

Hak Asasi Manusia dalam Ketahanan Nasional Indonesia


 Makin kaburnya batas-batas negara (borderless) dan semakin menyatunya dunia, menjadikan saling ketergantungan antarnegara. Keadaan inilah yang disebut denganglobalisasi. Globalisasi menjadikan masa depan dipenuhi dengan ketidakpastian sehingga membuat masa depan sulit diprediksi. Tren utama globalisasi dan aspek srtategis lainnya yang berlangsung pada awal abad 21 masih berkisar pada demokrasi, individualisme, HAM, lingkungan hidup, revolusi bidang informasi, liberalisasi perdagangan dan pergeseran perimbangan kekuatan dunia. Di satu sisi, lingkungan strategis tersebut membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia, sehingga menjadikannya sebagai peluang. Sedangkan di sisi lain, ada pula dampak negatifnya, sehingga menjadikannya sebuah tantangan bagi pemerintah. Tiap negara, termasuk Indonesia, harus memiliki ketahanan dalam menghadapi setiap perubahan. Karena suatu bangsa yang memiliki tingkat ketahanan nasional yang tinggi makin tinggi pula nilai kewibawaan nasional yang berarti makin tinggi tingkat daya tangkal yang dimiliki bangsa dan negara Indonesia.

Berkembangnya zaman menyebabkan masalah mengenai Hak Asasi Manusia semakin kompleks. Karena itulah sangat penting untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai Hak Asasi Manusia demi meningkatkan wawasan nusantara kita.

Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.

Sementara menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang diperhatikan oleh pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menghasilkan satu bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.

Kebebasan Berpendapat
Dalam konteks suatu negara, rakyat menduduki posisi penting. Posisi ini setidak-tidaknya didasarkan pada asumsi bahwa tanpa rakyat suatu negara tidak dapat menjamin kelangsungan hidupnya secara damai dan dinamis. Jika suatu negara ingin menjamin kelangsungan hidupnya secara damai dan dinamis, negara tersebut harus membuat rakyatnya betah tinggal di dalamnya. Sebagai konsekuensinya, rakyat diberikan ruang publik yang memadai agar mampu mengekspresikan dirinya.

Dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 diterangkan mengenai kebebasan dalam mengemukakan pikiran, yaitu:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Bebas menyampaikan pendapat di muka umum juga merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yaitu:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pada rezim Soeharto, ruang publik rakyat untuk turut serta mempengaruhi kebijakanpolitik sangat dibatasi. Rakyat menginginkan ruang politik yang lebih luas lagi bagi dirinya karena mereka sadar bahwa dirinya merupakan sumber eksistensi negaranya. Namun, itu tidak mereka dapatkan pada saat Soeharto memerintah. Kebebasan rakyat dalam berpendapat sangat dikekang. Hal ini tentu saja merupakan pelanggaran HAM dan tidak sesuai dengan isi UUD 1945 Bab XA yang membahas mengenai Hak Asasi Manusia.

Sejak reformasi bergulir, yaitu tahun 1998, perilaku politik berubah total tatkala Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden, 21 Mei 1998. pers nasionalseolah-olah bangkit dari keterpurukannya dan pintu kebebasan pers pun seakan terbuka lebar. Ini ditandai dengan diberlakukannya UU No. 40 Tahun 1999. Kreatifitas yang pada rezim Orde Baru begitu dikekang, kini bisa dengan bebas mewarnai dunia pers Indonesia. Selain itu, sistem sosial politik berubah. Rakyat yang sebelumnya sangat terbelenggu, menjadi bebas bahkan terkesan liar. Ibarat kuda lepas dari kandangnya. Tingkat partisipasi rakyat mencapai titik kulminasi tertinggi pada era ini. Orang-orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum dengan mengatasnamakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem komunikasi yang pada era ini merupakan sistem komunikasi terbuka sehingga sesuai harapan ideal masyarakat. Setelah ini, justru ibarat “kuda lepas dari kandang”. Media massa harus diberikan ruang bebas yang cukup agar bisa mengalokasikan kepentingan masyarakat dan pemerintah secara baik. Namun apakah sesuai dengan sistem komunikasi yang dianut Indonesia, yaitu sistem komunikasi bebas bertanggung jawab dan sesuai dengan hak-hak asasi manusia? Jawabannya jelas tidak.

Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, karena negara kita merupakan negara yang demokratis dan karena itu merupakan hak setiap manusia yang telah diatur dalam UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. Namun pada praktiknya tetap harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah disampaikan. Harus disesuaikan dengan batasan-batasan yang telah diberikan negara Indonesia baik menurut Pancasila, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Semuanya harus sinkron.

Pada nyatanya, kini proses penegakan HAM di Indonesia masih dihadapi oleh berbagai kendala. Namun, proses demokratisasi yang terjadi setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru telah memberi harapan yang besar bagi kita agar pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat ditegakkan. Beberapa kejadian pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia menunjukkan perlunya pemahaman Hak Asasi Manusia tidak sebatas karena hak itu dimiliki oleh semua manusia, namun juga pelayanan terhadap hak itu perlu dilakukan oleh semua manusia. Kita dapat mencermati bahwa dalam lingkungan sosial kita terdapat beberapa hambatan yang bersifat structural. Walau demikian hambatan tersebut sepatutnya tidak membuat semangat kita untuk menegakkan hak asasi manusia menjadi surut.

Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam penegakkan hak asasi manusia tersebut, mari kita upayakan sedikit demi sedikit untuk dikurangi (eliminasi), demi terwujudnya hak asasi manusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya untuk menyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara dalam sebaik-baiknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar